Monday, November 28, 2011

Sebuah Cerita Tentang Rinai



Sebenarnya aku tak ingin memulai kisah ini dengan hujan ataupun gerimis. Namun memang begitulah semuanya berjalan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Apa adanya.

Banyak yang tak kumengerti dari keberadaanku, takdir, termasuk pertemuanku dengan Rinai beberapa waktu yang lalu.

Malam masih menangis ketika aku selesai menulis. Ditemani redup lilin, aku menyeduh secangkir harap. Hujan semakin deras, membuat duniaku terasa begitu sunyi. Gulita semakin menyengatku dengan kesepian yang bertubi, namun aku rela saja. Toh, aku memang tak ingin berbicara kepada siapapun selain diriku sendiri. Tak ada yang bisa memberikanku jalan, apalagi yang ingin menjadi teman. Tak ada kesetiaan, sedang aku punya rahasia yang teramat gelap. Aku menyerah, dan detik itulah Rinai datang, menutup payung hitamnya dan bergegas masuk ke dalam. Aku tak bertanya banyak, sebab telah lama kuterka kedatangannya. Sebuah senyum yang telah lama kunantikan akhirnya merekah. Samar, namun cukuplah untuk membuktikan bahwa aku tak kehilangannya.

Rinai telah begitu lama mencari kematian, hingga ia tak sadar bahwa dirinya sendiri telah menjadi sebuah kematian. Ia tak jengah menyesali apa yang telah terjadi dan berusaha untuk kembali. Rinai tak menyerah meski ia hidup dengan jiwa yang gamang, hati yang kosong dan beku. Karena itulah aku mempercayainya, dan membiarkannya menginap di pikiranku sampai fajar menjelang..

Kemudian jemariku meraba hujan yang tempias. Aku pernah begitu dekat dengan hujan, sedekat aku dan nyawaku. Sampai suatu hari aku mulai melupakannya. Aku lupa dengan aromanya yang hangat, dengan riuhnya ketika bercengkerama dengan bumi dan udara. Hingga ia enggan menyentuh surat-surat yang tak jua kubaca, sebab aku terlalu takut. Apalagi Rinai telah berada di sisiku, dan aku belum siap untuk itu. Mungkin, sebentar lagi..

Kubalikkan halaman terakhir dari buku bersampul debu, ada goresan yang kerap membawa ingatanku mengembara pada sebuah nama. Hanya sebuah goresan tinta, tak lebih. Sebuah garis yang tak sengaja tercoret sebelum dia meninggalkanku. Garis yang menceritakan banyak kenangan, lebih dari seribu kata-kata. Kuhela nafas satu-satu dan Rinai ikut tersenyum getir. Ia memandang jauh keluar jendela, menekuni puluhan manusia yang sebenarnya tak pernah ada. Kasihan, terkadang manusia tak menyadari bahwa Rinai telah berada di dekat mereka sebagai teman yang paling setia. Teman yang akan hadir di saat-saat terakhir hidup mereka..

Kulitku membiru, menggigil kedinginan. Rinai menangis tanpa menoleh ke arahku yang sedang mencoba untuk tetap tersenyum tegar.

"Hei.." aku mencoba menyapa.

Rinai menoleh lesu, air mata masih menggenangi matanya yang merah menyala. Aku mengangguk lemah, memeluknya dengan pilu. Aku telah siap menjadi kekasihmu, Rinai. Bawa aku kemanapun yang kau mau, asalkan jangan di dunia ini. Kau telah berjanji bahwa kau sanggup, dan aku percaya padamu. Rinai...

Angin semakin menderu, merobek-robek mawar putih di halaman rumah. Langit menghitam, hujan menenggelamkan mimpi. Menegakkan satu kesaksian bahwa aku telah pasrah. Dan disini, dalam pelukan Rinai, aku memejamkan mata. Sebab Rinai adalah kematian, dan aku akan segera terlelap. Bersamanya, selamanya..

Post a Comment

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search